MATANYA sipit dan sering berkedip, bak menggambarkan orang yang sulit ditebak pikiran dan langkahnya. Tutur katanya lembut tapi lepas bagaikan tanpa beban. Pangkatnya pun tak tanggung-tanggung, Komisaris Jenderal Polisi. Itulah Susno Duadji yang terus menjadi “news maker.”

Elan baru kini sedang melanda Polri. Jika dulu segalanya serba tertutup rapat dan amat rahasia, kini seorang jenderal polisi berbintang tiga pun berani buka mulut mengungkap kebrobokan institusinya sendiri.

Positif atau negatif langkah Susno tergantung dari mana kita memandangnya. Namun yang pasti, Susno Duadji sedang berjibaku (berani mati) untuk mengungkapkan sesuatu yang dianggapnya benar.

Tiupan terompetnya soal ada yang tak beres di tubuh Polri sungguh menggetarkan kalbu, baik bagi para pendukungnya maupun mereka yang anti. Sebagian besar orang tentunya menyambut baik langkah-langkah berani Susno Duadji. Sebuah langkah besar memang harus diambil, jika kita ingin reformasi dalam tubuh Polri bergerak positif.

Susno adalah pembuat berita (news maker) saat persoalan kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyeruak di 2009 lalu. Ucapannya mengenai “Cicak (KPK) koq mau melawan Buaya (polisi)” menimbulkan kontroversi. Saat itu, tidak sedikit pihak yang sebal dan benci pada dirinya. Tapi setelah itu, Susno justru menjadi “pembela kebenaran.”

Upaya Susno untuk membongkar aib di tubuh Polri berawal ketika secara mengejutkan ia justru menjadi saksi yang meringankan bagi Antasari Azhar, mantan Ketua KPK yang dituduh menjadi dalang pembunuh Nasruddin Zulkarnaen, Direktur PT Rajawali Putera Banjaran.

Susno juga bicara blak-blakan dalam setiap acara rapat kerja dengan DPR-RI yang terkait dengan posisinya dulu sebagai Kabareskrim Mabes Polri. Kini, ucapannya soal ada Mafia Kasus di tubuh Polri membuat mata kita terbelalak, kaget dan tak percaya.

Langkahnya untuk bicara apa adanya dalam acara Kick Andy di Metro TV bulan lalu, menambah daftar “dosa” Susno di mata kolega dan institusinya. Apalagi setelah ia menerbitkan berbagai testimoninya dalam buku berjudul Bukan Testimoni Susno (BTS).

Tapi, bagaimana kita menilai Susno Duadji? Apakah ia seorang yang jujur memihak kebenaran, ataukah seorang yang sedang sakit hati karena dicopot dari jabatannya setelah isu dirinya terlibat sebagai mediator salah satu aliran dana Bank Century.

Ada yang menduga Susno membongkar semua itu karena gagal menjadi Waka Polri. Susno kini memang perwira tinggi berbintang tiga Polri tanpa posisi jabatan. Ada juga yang menduga Susno bukan saja ingin menjadi Waka Polri melainkan Kapolri atau Ketua KPK.

Secara akal sehat, dua jabatan penting itu hampir-hampir tidak mungkin ia raih karena Susno pasti dipandang sebagai orang yang tidak dapat menutup rapat-rapat rahasia jabatan.

Orang yang akan mendudukkannya sebagai Kapolri atau Ketua KPK tentunya khawatir Susno akan “bernyanyi” lagi jika ia diperintahkan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya.

Hari Selasa, 23 Maret 2010, Susno Duadji resmi menjadi tersangka karena dianggap melakukan fitnah terhadap dua perwira tinggi Polri berbintang satu yang dituduhnya sebagai Makelar Kasus penggelapan pajak senilai Rp 24,6 Milyar.

Di mata Susno Duadji, seperti diutarakannya dalam wawancara dengan Radio Trijaya FM, Rabu, 24 Maret 2010, ia menjadi tersangka mungkin karena ia dianggap mencemarkan nama baik orang, nama baik institusi Polri dan menjadi pembuat masalah di tubuh Polri. Namun, penentuan dirinya sebagai tersangka merupakan langkah positif. Kita ingin kasus Susno diadili seadil-adilnya.

Apakah ia seorang “problems maker” atau “hero”, pengadilanlah yang akan membuktikan, asalkan prosesnya benar-benar transparan, terbuka untuk diketahui masyarakat dan akuntabel. Kita tidak ingin kasus Susno diselesaikan atasan hukum (Ankum) yang bersangkutan, yakni Kapolri. Kita juga tak ingin Polri mengajukan Susno ke semacam Dewan Kehormatan Perwira (DKP).

Tegaknya hukum di negeri ini antara lain juga tergantung pada Polri. Jika ada kebobrokan di tubuh Polri, sulit pula penegakan hukum dilaksanakan secara baik.

Ingatan kita melambung jauh saat Letjen TNI Prabowo Subianto dicopot dari dinas aktif militer setelah DKP memutuskan ia bersalah karena memerintahkan penculikan aktivis pro-demokrasi pada 1997/1998. Prabowo saat itu tidak dapat membela diri karena tidak ada pengadilan militer untuknya.

Kasus Susno tidak boleh mengulang kasus Prabowo yang hanya diselesaikan secara internal melalui DKP. Seberapa berat pun kesalahan seorang perwira tinggi, ia harus mendapatkan keadilan hukum.

Akankah Susno Duadji mendapatkan keadilan hukum, kita lihat nanti di pengadilan. Jika ia ternyata terbukti memfitnah, ia harus mendapatkan ganjaran yang setimpal. Sebaliknya, jika ternyata yang diucapkan selama ini benar adanya, orang-orang yang dituduhnya tersebut yang sepatutnya masuk penjara. Citra Polri kini dipertaruhkan.

0 comments

Post a Comment

,