BANYAK rakyat Indonesia kecewa ketika mendengar Presiden AS Barack Obama menangguhkan kunjungannya. Meski demikian, dengan memilih tetap di Washington, Obama bisa mengamankan kemenangan dalam reformasi RUU Kesehatan yang menjadi perdebatan selama setahun terakhir ini. Obama juga mengembalikan momentum berjalannya pemerintahan AS.
Hingga kini, banyak yang berpikir sistem kesehatan Amerika terlalu besar dan terlalu dalam untuk begitu saja dirombak. Lagipula, mantan Presiden Bill Clinton pernah melakukan hal sama ketika masih menjabat pada 1990-an. Tak heran, masyarakat menduga agenda Obama sudah pasti gagal.
Bisakah contoh Obama itu diterapkan di Jakarta? Sanggupkah Presiden SBY memiliki keberanian melakukan pencapaian yang sama seperti dilakukan AS?
Orang akan dihormati atas pencapaiannya. Obama tetap berada di jalur. Ia menggunakan modal politik dan menekan Kongres untuk merestui jalannya. Memang ada oposisi, namun Obama tetap di atas mereka.
SBY menghadapi tantangan yang sama. Agenda reformasinya membutuhkan keberanian, akal politis, dan ketegasan. Mungkin dengan begitu, lawan politiknya akan lebih takut?
Potensi bangsa ini menjadi pertaruhannya. Dengan pasar konsumsi yang tumbuh subur dan besarnya sumber daya alam, Indonesia seharusnya berada bersama kelompok negara yang menyebut diri mereka BRIC (Brasil, Rusia, India, China). Namun nyatanya tidak.
Tetap saja, negara ini masih menarik. Lihat saja akuisi produsen rokok kretek Bentoel dan Sampoerna. Juga raksasa peritel Matahari yang baru-baru ini diakuisisi. Sentimennya sudah jelas: pertumbuhan masih ada.
Indonesia telah melalui transisi yang sukses dari masalah finansial dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1998. Hingga kini telah mendapatkan tempat di forum negara ekonomi besar, G20. Ketegasan SBY dalam menghadapi terorisme juga sangat membantu. Demikian pula dengan demokrasi dan etos pluralisme, Indonesia telah menjadi standar global untuk Islam progresif.
Meski begitu, masih ada hambatan yang mengalangi Indonesia untuk terus unggul dalam permainan. Negara ini masih menjadi tempat yang sulit untuk melakukan bisnis, bahkan untuk pebisnis lokal sekalipun.
Demokrasi dan desentralisasi memang menghasilkan kestabilan politik, tapi lain halnya dengan kultur kejujuran. Benar, banyak yang saat ini menyebutnya sebagai demokrasi korupsi.
Perjuangan ini memang tak pernah mudah: Indonesia lebih kepada subkontinen ketimbang sebuah negara. Kemakmuran Jakarta, Riau, dan Jambi di Sumatra harus disejajarkan dengan Nusa Tenggara Timur.
Ketidakpercayaan provinsial dengan para elit Jakarta telah mengakar, dipicu oleh kesewenangan dan diacuhkan selama berdekade. Setiap 33 provinsi di negara ini menghadapi tantangan yang berbeda. Satu ukuran saja takkan muat menampung semuanya.
Dalam bangsa serumit ini, angka makro ekonomi saat ini secara luar biasa menjadi positif. Pertumbuhan ekonomi di 2010 diprediksikan akan mencapai 5-5,6%. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bahkan menikmati penutupan tertingginya dalam dua tahun terakhir. Tahun lalu saja naik 85%. Rupiah yang tadinya sekarat, secara perlahan tapi pasti bisa melawan dominasi dolar AS.
Perdagangan juga naik. Pertukaran bilateral dengan China mencapai US$25 miliar, melebihi perdagangan RI-AS yang US$18 miliar. Tren semacam ini memang sedang menyebar ke Asia Pasifik. Level pajak dasar juga naik, hampir tiga kali lipat pada 2005 ke lebih dari 14 juta yang ada saat ini.
Dan akhirnya, rating dari Standard & Poor untuk dua BUMN menjadi kabar baik. Sejumlah perusahaan di negara ini yang terkait pemerintah, terutama PT Garuda Indonesia dan PLN akan melalui sebuah transformasi yang besar. Negaranya menjadi lebih baik ketimbang yang diakui penduduknya.
Tetap saja Indonesia takkan menjadi saingan China dan India yang pertumbuhannya luar biasa. Upaya reformasi terhalang perbedaan politik dan sifat malu-malu pemerintah. Dalam hal ini, hanya presiden yang bisa disalahkan.
Setelah memenangkan mandat yang luar biasa tahun lalu, ia terjegal skandal dana talangan Bank Century. Kegagalan SBY menyelesaikan masalah yang berdasar pada perbedaan politik ini membuat kredibilitasnya dipertanyakan. Inilah tantangan terbesar bangsa ini, kebiasaan sang presiden untuk berhati-hati. Ia seharusnya belajar dari Obama.
Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Ini bukan berarti menggugurkan kebijakan seseorang. Tapi, seperti Obama, SBY membutuhkan keyakinan dan membangun koalisi lebih kuat dalam menghadapi lawan yang kuat.
Rakyat akan mendukung apapun yang baik untuk kepentingan nasional, meski dalam jangka pendek akan menyakitkan. Presiden harus memilih: memimpin Indonesia maju ke depan atau menyia-nyiakan peluang bersejarah ini.
Post a Comment