Gayus H Tambunan hanyalah satu tokoh korup dari gambaran besar birokrasi yang korup. Betapa runyamnya rupa masa depan Indonesia bila birokrasi dibiarkan terisi oleh para birokrat bermental korup.

Artikel ini coba menggambarkan betapa bahayanya bila para aparat negara bermental korup dan bermoral bejat dibiarkan bercokol dalam sistem pemerintahan. Jadi, sama sekali tidak ada maksud mendramatisir keadaan atau memperkeruh situasi.

Ini semata-mata untuk mengingatkan, bahwa negara ini tidak akan pernah bisa maju dan bangkit menjadi negara bangsa yang besar bila penyakit korupsi masih mewabah. Yang ingin digambarkan di sini adalah kondisi terburuk yang selalu mungkin terjadi bila tidak ada kemauan kuat untuk membabat habis korupsi yang menjangkiti birokrasi.

Namun, skenario yang dibangun ini tidak seluruhnya menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Karena sudah pasti cukup banyak pegawai Ditjen Pajak yang masih memiliki moral lurus dan mental bersih dari korupsi.

Maka anggap sajalah ini mimpi buruk tentang masa depan karir Gayus H Tambunan sebagai pegawai kantor pajak. Mari kita mulai saja mimpi buruk kolektif ini.

Mimpi berawal ketika Gayus H Tambunan mengawali karirnya sebagai petugas pajak junior, selepas lulus dari bangku akademi kedinasan setingkat diploma tiga. Sebagai pegawai belia, berusia sekitar 21 tahun, Gayus muda boleh berbangga menyandang status pegawai negeri sipil dengan pangkat golongan II-D.

Bila sekarang dia berusia 30 tahun, berarti sudah sembilan tahun dia mengabdi kepada negaranya. Atas pengabdiannya itu, setelah lima tahun berkerja, maka saat usianya 26 tahun, negara menaikkan pangkatnya menjadi golongan III-A. Berarti saat ini Gayus tergolong pegawai berpangkat III-A yang senior. Dengan pangkatnya saat ini, dia mendapatkan gaji dan renumerasi total Rp12,5 juta.

Pukul rata, selama sembilan tahun berkerja dia mendapatkan gaji per bulan Rp9 juta. Bila seluruh gajinya ditabung, maka total gaji yang berhasil dikumpulkannya hingga saat ini berjumlah Rp972 juta saja. Padahal tidak mungkin selama sembilan tahun dia berpuasa setiap hari, dan tidak pernah berbelanja apapun.

Bila melihat harta kekayaan yang nyata saat ini, plus gaya hidupnya yang konsumtif dan hedonis, maka mustahil gaji sebanyak itu bisa mencukupinya. Lantas bagaimana cara dia mencukupi hidupnya? Jawabannya ya sudah jelas, dari ulah korupsinya yang kini terbongkar.

Supaya lebih sederhana, asumsikan saja harta kekayaan hasil korupsinya selama sembilan tahun berkerja ‘cuma’ Rp25 miliar. Angka Rp25 miliar ini diambil dari nilai pencucian uang hasil korupsi pajak yang terlanjur terbongkar.

Nah bila dalam tempo sembilan tahun berkerja dia mampu menumpuk kekayaan korupsi Rp25 miliar, maka bisa dipastikan harta kekayaannya akan sangat besar saat memasuki masa pensiun ketika usianya 55 tahun kelak.

Bila dianugerahi umur panjang, berarti dia masih memiliki waktu selama 25 tahun berkarir sebagai aparat pajak. Nah bisa dibayangkan apa saja yang bisa diperbuatnya selama seperempat abad mendatang?

Sejalan dengan berlalunya waktu, bila karirnya mulus serta lancar, maka pangkatnya akan semakin tinggi dan kekuasaannya bakal kian besar. Apalagi bila dia pandai melobi para atasannya, serta rajin berbagi hasil korupsinya, maka karirnya akan meningkat lebih pesat dan cepat.

Pada saat yang sama, keahliannya sudah makin tinggi, serta pengalamannya kian banyak. Termasuk keahlian dan pengalaman melakukan korupsi. Bila selama 25 tahun mendatang karirnya berkembang sesuai standar berarti paling tidak saat menginjak usia 55 tahun, dia sudah berpangkat IV-C atau bila pandai menjilat pangkatnya bisa IV-D.

Dengan pangkat IV-C dia bisa menduduki jabatan setingkat direktur direktorat dengan eselon II. Bila pangkatnya IV-D dia bahkan bisa menduduki posisi setingkat direktur jenderal dengan eselon I. Bahkan, bila pandai berpolitik dan bermuka banyak plus rajin menjilat kiri kanan, dengan memanfaatkan harta berlimpah hasil korupsinya, bisa saja dia menjadi politisi papan atas atau menteri anggota kabinet.

Saat karirnya memuncak, maka kekuasaannya pun makin besar, serta pergaulan di kalangan papan atas akan kian luas. Maka bisa dibayangkan, betapa besar kemampuan dan peluangnya melakukan korupsi. Sudah barang tentu, di puncak karirnya itu, korupsi yang dilakukannya bukan lagi korupsi kelas recehan.

Betapa tidak, di saat masih menjadi pegawai rendahan saja korupsinya sudah bernilai puluhan miliar. Apalagi bila dia sudah menjadi pejabat tinggi negara. Maka berapa besar tarif korupsi yang bakalan dipatoknya untuk setiap kali membubuhkan tanda tangan di atas selembar surat penting?

Bagi pejabat bermental korup dan bermoral bejat yang telah mati hati nuraninya, hal itu bisa saja terjadi. Dan pejabat bebal semacam itu, akan mati-matian sengaja mempertahankan dan membiarkan saja sistem birokrasi yang korup itu. Peduli amat dengan kata dunia, peduli apa dengan amanat rakyat, yang penting posisinya tetap nyaman, dan kejahatan korupsinya tetap aman.

0 comments

Post a Comment

,