Virus itu berupa pemilihan karakter pegawai Ditjen Pajak itu sebagai obyek atau subyek dalam humor. Ini adalah ekspresi kekesalan dan kegeraman publik terhadap penyakit korupsi, yang wewujud dalam sinisme humor.
“Jika dulu penumpang angkutan umum mau turun di depan Kantor Pusat Ditjen Pajak, kondektur bilangnya pajak... pajak..., tetapi sekarang berubah menjadi Gayus... Gayus..," tutur Direktur Jenderal Pajak Tjiptardjo, sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara.
Sebenarnya penuturan Tjiptardjo itu bukan berniat untuk melucu. Sebab, Rabu (7/4) siang lalu, Tjiptardjo sedang tidak berniat guyon. Apalagi saat mengucapkan kalimat itu, Tjiptarjo sedang berada dalam acara penting dan serius.
Pada rapat dengar pendapat (RDP) dengan Panja Perpajakan Komisi Xl DPR, di Gedung DPR itu, dalam salah satu jawabannya atas cecaran pertanyaan para anggota dewan, Tjiptardjo mengeluhkan dampak moral terbongkarnya kasus korupsi dan mafia pajak Gayus Tambunan terhadap para pegawai kantor pajak yang lain.
Nah, dalam keluhan panjang lebarnya itulah, terselip penuturan tadi. Toh, sekali lagi, meskipun tidak bermaksud guyon, penuturannya itu tak urung membuat para anggota Komisi XI dan para juru warta yang tengah meliput tak kuasa menahan tawa.
Alhasil, curhatan Dirjen Pajak kepada anggota DPR itu pun memperkaya ‘khazanah’ humor di masyarakat. Karena sebenarnya, sebelum petinggi kantor pajak itu berkeluh kesah, sudah ada banyak humor serupa dengan versi yang berbeda.
Humor tentang korupsi yang menempatkan Gayus Tambunan sebagai obyek maupun subyeknya ternyata telah beredar luas di masyarakat. Baik dari mulut ke mulut atau dalam forum resmi, hingga diperbincangan santai di warung kopi pinggir jalan.
Guyonan yang sama juga menyebar luas seperti virus melalui jaringan milling list, jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, SMS, hingga melalui Blackberry Massanger (BBM).
Maka jangan heran bila suatu saat, dalam suatu rapat resmi atau di dalam lift gedung pencakar langit, terlihat seseorang tiba-tiba tersenyum-senyum atau tertawa sendiri saat membaca SMS atau BBM atau komentar di dinding Facebook.
Bisa jadi, orang tersebut sedang membaca humor yang tentang sang Gayus itu. Nah, kutipan beberapa humor yang beredar itu adalah seperti berikut ini:
“Kalo orang gak punya banyak tmn, namanya GAK GAUL. Tp kalo udah lama kerja tp gak kaya-kaya, namanya GAK GAYUS....”
Atau, “Kalo orang berduit hasil kerja keras terus bisa beli mobil dan jalan2, dibilang GAYA... Kalo orang kaya cepet hasil korupsi uang negera, itu dibilang GAYUS....”
Atau, “Kalo cara kerjanya rapi sampe gak ketahuan, itu namanya Main HALUS..., Kalo cara kerjanya udah rapi tapi tetep ketahuan juga namanya Main GAYUS...”
Masih ada lagi yang lain: “Kalo kerjanya di malam hari, mencari manusia yg bisa digoda utk ditakut2i namanya Makhluk HALUS..., Kalo kerjanya di siang hari, mencari manusia yg bisa digoda utk dipalakin namanya Makhluk GAYUS...”
Perlu dipermaklumkan di sini, humor-humor tersebut sengaja dikutip apa adanya sesuai aslinya yang tertulis pada SMS atau BBM, termasuk gaya penulisannya sesuai yang ada pada pesan aslinya.
Ada banyak makna penting di balik humor-humor tersebut, termasuk latar belakang munculnya humor tentang korupsi dan Gayus itu. Dalam kasus kondektur yang dituturkan Tjiptarjo tadi, mungkin saja tidak ada maksud dan motivasi apa-apa di benak sang kondektur, selain ingin membuat banyolan.
Tetapi dari perspektif yang berbeda, bisa jadi, abang kondektur tadi hendak menumpahkan kekesalannya kepada para petugas pajak. Karena itu pula, humor-humor tersebut mencerminkan ekspresi serta aspirasi kekesalan dan kegeraman publik terhadap penyakit korupsi, yang wewujud dalam sinisme humor.
Masyarakat yang merasa kesal, geram, dan gelisah melihat bobroknya kondisi pemerintahan, khususnya birokrasi perpajakan, menjadikan humor sebagai kanal penyaluran perasaannya. Melalui humor itu pula, masyarakat mencoba menuangkan kritik sosial politiknya, yang selama ini tidak tersalurkan melalui media-media komunikasi publik yang tersedia.
Sembari melontarkan humor, tanpa sadar, masyarakat turut membangun kesadaran diri untuk bersiap mengkritik dan menerima kritikan. Humor sinisme itu dapat pula dipandang sebagai cara mengkritik secara halus dan santun, sehingga pihak yang dikritik tidak menjadi tersinggung dan marah. Paling banter yang merasa dikritik hanya akan tersenyum kecut sembari.
Dengan caranya sendiri, masyarakat menggunakan humor sebagai medium menembus kebuntuan saat melakukan perlawanan terhadap struktur dan kultur yang menyimpang. Dalam konteks inilah, abang kondektur tadi patut bersyukur, karena kritikan dan aspirasinya telah didengar dan direspons oleh sang dirjen.
Post a Comment