Kita membuat citra nyaris terhadap semuanya, bukan saja terhadap yang —kita anggap sebagai— bukan diri kita, tetapi bahkan terhadap diri kita sendiri. Akibatnya, apa yang selama ini kita anggap sebagai diri kita sendiri selama ini tiada lain dari citra yang kita bentuk sendiri —baik secara sengaja maupun tak sengaja, baik kita sadari maupun tak kita sadari.
Secara sengaja, dengan sadar kita membentuk citra-diri di mata orang-orang, melalui penampilan kita, tingkah-laku kita, tutur-kata kita, prestasi-prestasi kita, karya-karya kita, pengambdian- pengabdian kita, kepintaran-kepintar an dan keahlian-keahlian dan sebagainya ... dan sebagainya bukan? Dimana ketika citra-diri itu diterima oleh orang-orang sebagai apa adanya kita, kitapun ikut percaya kalau kita memang citra —bentukan kita— itu adanya. Kita mencitrakan diri seperti ini atau itu, kemudian kitapun jadi percaya bahwa kita ini demikian adanya.
Kita merasa kurang percaya-diri; kita mengetahui kalau ada sejenis kursus atau sekolah kepribadian yang bisa membuat banyak orang tumbuh rasa percaya-dirinya; kita ikut dalam program itu, untuk kemudian berubah menjadi penuh rasa percaya-diri.
Itu secara sengaja. Secara tak sengaja, yang tanpa kita sadari, dari apa yang kita perbuat dan ucapkan maupun yang tidak kita perbuat atau ucapkan, kitapun membentuk citra-diri —baik di mata orang-orang maupun terhadap anggapan kita sendiri tentang siapa atau apa diri kita ini adanya.
Lengkaplah sudah citra-diri yang kita bentuk sendiri itu. Citra-diri inilah sesungguhnya yang kita sebut dengan ‘jati-diri’ selama ini. Keluar ia merupakan citra-diri, dan ke dalam ia merupakan ‘jati-diri’ atau kepribadian. Inilah yang sekarang ini kita klaim sebagai, “Inilah aku!”. Bukankah demikian kejadiannya?
Kalau berani jujur, untuk kemudian mengakui kalau memang demikian adanya, bukankah apa yang selama ini kita anggap sebagai ‘diri’ kita sesungguhnya buatan, semu, imitasi, palsu? Bukankah selama ini sebetulnya kita terkecoh oleh pencitraan sendiri atas diri kita, yang didukung oleh anggapan orang-orang tentang siapa kita dari pencitraan keluar yang kita buat itu?
Oleh karenanya, menyadari fakta ini, tidaklah sepantasnya Anda sedemikian bersedihnya, atau sebaliknya, sedemikian berbangganya akan kesemuan itu. Itu hanyalah diri-semu. Bukan Anda yang sesungguhnya, bukan Anda yang sejati. Sebaliknya, sepantasnyalah Anda menanggalkan semua kesemuan itu, demi terekspresikannya keluar yang sejati. Ia tetap ada di dalam. Ia tak pernah hilang atau rusak. Diri-semu —yang tak-ubahnya busana yang Anda kenakan selama ini dan Anda sangka sebagai Anda— itulah yang menyelubunginya. Ketahui, sadari dan tanggalkan yang semu, maka yang sejatipun mengenjawantah dengan sendirinya. Andapun akan tahu seperti apa sesungguhnya dia adanya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment