Jutaan penduduk di kota besar Jepang memang tidak merasakan secara langsung namun berita yang menyebar dengan cepat di internet, seperti gempa di Haiti, Chile dan Selandia Baru, membuat semua pihak tersadar.
Layanan ‘Japan Person Finder’ misalnya, membantu siapapun di seluruh dunia untuk mencari sanak saudara mereka. Inilah mesin pencari dengan penampilan sederhana namun menjadi situs paling sering dikunjungi.
Menurut Google, dalam kurun 36 jam, situs itu telah dilihat 30 juta khalayak, bahkan kinerja situs itu belum menurun. Situs tersebut memang memungkinkan pengguna mengunggah (upload) informasi siapapun yang terperangkap dalam bencana. ‘Japan Person Finder’ sekarang berisi data lebih dari 250 ribu orang yang terjebak dalam gempa Jepang.
“Ini adalah situs dengan tanggapan masyarakat paling besar dibandingkan sebelumnya,” ujar juru bicara Google.org, Jamie Yood terkait bencana Jepang dibandingkan gempa di Haiti, Chile dan Selandia Baru.
“Ada beberapa sumber informasi yang sangat penting pascabencana di antaranya tempat pencarian makanan, minuman, obat-obatan, sanitasi dan lainnya,” kata Yood lagi. Selain mengandalkan pemerintah dan bantuan sementara dari LSM untuk memberikan informasi ke situs itu, Google.org juga meminta tempat penampungan di Jepang untuk membantu.
Google.org memanfaatkan perangkat lunak Optical Character Recognition (Pemindai Karakter Optik) untuk mengkonversi foto di poster ke dalam bentuk teks yang langsung terungggah di ‘Japan Person Finder’.
Namun, layanan itu bukan berarti tidak memiliki cacat. Keluarga Brian Hickerbottom misalnya, guru bahasa Inggris yang berada dikawasan pantai Sendai, merasa tertekan setelah muncul kabar yang mengatakan dirinya sudah meninggal.
“Ada banyak pesan yang mengatakan bahwa saya sudah tiada.” Hickerbottom terpaksa mengirim pesan ke seluruh sanak saudaranya untuk mengabarkan keadaannya. Wajar sebenarnya mengingat Google.org tidak memunculkan situs Person Finder begitu rumit.
Masyarakat tidak perlu mendaftarkan diri atau registrasi. Tujuannya memang mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi sebanyak mungkin dengan mengandalkan pengguna masing-masing melaporkan posting bohong atau berbahaya.
Keberhasilan proyek ini menunjukkan betapa koneksi broadband Jepang jauh lebih berguna dibandingkan saluran telepon tetap ataupun seluler pascagempa. Infrastruktur online Jepang yang menggunakan kabel serat optik raksasa dan router berhasil mengamankan lalu lintas data dan jutaan jalur broadband individu, ujar RIPE (organisasi yang mengkoordinasi pengembangan teknis internet di Jepang).
Sementara saluran telepon terganggu sehingga membuat kepanikan sesaat bagi masyarakat yang ingin menghubungi saudara, layanan VoIP seperti Skype bagaikan angin surga. Masyarakat bisa saling bertukar video atau bertelepon secara langsung via jaringan data.
Facebook sebagai jejaring sosial paling dominan juga tidak ingin ketinggalan membantu masyarakat Jepang. Mereka menjadi ‘pemukiman’ pertama bagi masyarakat untuk terhubung secara online.
Setiap pengguna bisa menginformasikan dirinya sendiri baik-baik saja ke orang banyak. Pada 11 Maret, Facebook mencatat setidaknya 4,5 juta perbaruan status yang mencantumkan kata Jepang, Gempa dan Tsunami.
Selain itu, perusahaan Zynga yang mengembangkan permainan jejaring sosial paling terkenal yaitu Farmville, menggunakan kemampuan mereka dalam mengumpulkan massa untuk membentuk penggalangan dana bagi anak-anak korban tsunami dan gempa Jepang. Mereka menggalang dana dengan barang virtual yang ditawarkan sejak Jumat malam. Dalam kurun 36 jam, dana mencapai lebih dari US$1 juta (Rp9 miliar).
Tidak hanya lembaga swasta maupun LSM yang menarik keuntungan dari kemampuan komunikasi massal dari internet dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami. Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency) secara rutin menyebar data terkait keadaan reaktor nuklir Fukushima di YouTube, Facebook dan Twitter.
Post a Comment